Diakui atau tidak,
banyak orang yang tidak sempat mengadakan perenungan. Dengan kesibukan
yang padat, rasanya sulit mencari waktu yang tepat untuk berpikir
mendalam. Hari hari hanya diisi dengan kerja dan kerja. Seakan semua
waktu dalam hidup ini habis sekadar untuk mencari nafkah. Kesibukan
seperti ini sudah menjadi ciri atau malah menjadi bagian dari kehidupan
modern.
Malam hari
yang semestinya waktu paling cocok untuk melakukan perenungan ternyata
juga tersita untuk sekedar urusan dunia. Malam, utamanya dikota kota
besar tidak lagi ada bedanya dengan siang, Tetap ramai, tetap sibuk.
Lampu lampu kota kini telah menjadi ‘pengganti’ matahari. Malam pun
tetap terang benderang, Itulah sebabnya kemudian bermunculan manusia
‘kelelawar’ yang jadwal hidupnya justru terbalik, Di siang hari mereka
tidur, malam hari mulai menampakkan tanda tanda kehidupannya bekerja.
Tentu saja hal ini menyalahi sunnah, menyelisih fitrah. Firman Allah,”Dialah
yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk
istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”(QS Al Furqan 47 )
Karena manusia
sudah merasa tidak lagi cukup waktunya untuk mencari kehidupan di siang
hari saja, maka malam harinya mereka gunakan juga untuk bekerja.
Akibatnya jam istirahat berkurang. Apalagi jam untuk tafakkur,
mengadakan perenungan, muhasabah (menghitung diri), muroqobah
(mendekatkan diri pada Allah), hampir tiada lagi sama sekali. Jangankan
shalat malam, sedang shalat Isya saja dikerjakan sambil ngantuk,
pikirannya masih tertuju pada lain yang sifatnya keduniaan. Apalagi
disaat shalat, TV tidak dimatikan, sebab anak istri sedang menonton,
Bagaimana bisa khusyu’ sedang ingat bacaannya sudah kesulitan. Terlebih
kini semakin banyak saja acara yang menarik, yang melalaikan manusia
dari memikirkan arti hidupnya sendiri. Semestinya sebelum pergi tidur
diluangkan waktu sejenak untuk berzikir. Kalau bisa, shalat dua rakaat.
Kalau masih bisa, baca Al Qur’an minimal tiga surat terakhir atau “tiga Qul”, yaitu Qul Huwallahu ahad, Qul a’udzubirabbil falaq, dan Qul a’udzu birabbinnas,
lalu ditutup dengan do’a tidur. Tapi alangkah banyaknya orang yang
pergi tidur tanpa sengaja. Sambil menonton TV keterusan lupa berzikir,
lupa shalat, lupa berdo’a ataupun mengadakan perenungan. Malah mengatur
posisi tidurnya saja tidak sempat apalagi untuk bangun tengah malam.
Kurangnya
mengadakan perenungan berakibat sangat fatal, Manusia tak lagi mengerti
untuk apa mereka bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk mencari harta.
Setelah harta didapat digunakan sekenanya. Tidak ada waktu lagi untuk
berfikir, darimana harta didapat.
Tidak ada kesempatan untuk merenung, apakah yang lain juga mendapat, Tak
juga sempat menilai, halal atau haram pendapatannya dan sebaliknya
digunakan untuk apa saja itu semua. Dalam benaknya hanya ada satu
pikiran, pokoknya saya dapat. Mestinya berfikir, darimana didapat, dan
kemana dibelanjakan. Orang yang sudah pada taraf seperti ini hidupnya
hanyalah sekedar untuk memenuhi hidup. Mereka bekerja, berjuang,
berkorban, berdamai dan berperang, hanya untuk hidup, bahkan mereka
mempertaruhkan hidupnya sekedar untuk hidup.
Mereka ini disindir Allah dalam firman Nya ”Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami ayat ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak
dimanfaatkan untuk melihat tanda tanda kebesaran Allah, mereka mempunyai
telinga, tapi tidak dipakai untuk mendengar ayat ayat Allah. Mereka itu
bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, Mereka itulah orang
orang yang lalai,” (QS Al A’raaf: 179 ).
Telinga mereka
berlubang dan bisa mendengar, tapi tidak mau mendengarkan nasehat,
anjuran, perintah dan larangan Dzat yang menciptakan telinga. Inilah
yang disebut telinga pasif oleh Allah. Bukan berarti telinga ini tak
aktif terhadap yang lain. Begitu musik disetel, nyanyian diperdengarkan,
fitnah digunjingkan, telinga itu menjadi normal kembali, Mata mereka
juga melek, tapi untuk membaca kalimat Allah mata itu menjadi rabun,
malah buta sama sekali, Berbeda bila melihat lenggak lenggok artis, baik
di pentas terbuka maupun di layar televisi, mata itu tiba tiba jernih,
sejernih kaca TV. Mereka juga punya hati, tapi sekedar gumpalan daging
yang terbalut rongga dada, Hati yang berupa qolb tak lagi mereka
punyai, paling tidak sudah lama tak terpakai. Atau dikatakan telah
usang, dan sulit dicari. Jika harus diaktifkan, masih perlu dibersihkan,
diservis, bahkan mungkin dibongkar pasang dulu….
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Firman Allah dalam surah Al –israa’ 36. Sebelum hari pertanggung
jawaban itu, sebaiknya kita memanfaatkanya untuk merenung, adakah ketiga
tiganya sudah berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh Yang
Menciptakan? Atau kita masih beralasan, belum ada waktu untuk
merenungkan?
Ini semua
adalah ajakan kepada kita untuk merenungkan sejenak arti hidup kita di
dunia ini. Jelas sekali bahwa Allah tidak heran kepada manusia, sebab
Dia sendiri yang menciptakan, redaksi hadist ini dibuat sedemikian rupa,
agar lebih komunikatif, agar mudah dicerna dan difahami. Lebih
penting lagi, agar mudah menyentuh hati. Soal sentuh menyentuh hati ini
bukan perkara sederhana, apalagi untuk ukuran sekarang ini. Bukan mayat
berjalan orang hidup yang lupa mempersiapkan untuk hari esok, disindir
oleh Nabi Muhammad Saw seperti “mayat hidup yang sedang berjalan”. Artinya, fisiknya hidup, tetapi hatinya telah mati.
Orang yang
hatinya mati, bisa kita lihat dari berbagai tanda, Misalnya, mereka
tidak peduli ada peringatan Allah atau tidak, Mereka tenang saja
melenggang bahkan berjalan dengan sombong di muka bumi. Seolah dia akan
bisa hidup selamanya, Orang yang hatinya mati, sering kali tidak
bergetar mendengar nama Allah disebut, dan tidak bergeming meski
dibacakan ayat ayat Allah. Baginya semua itu seperti tidak ada kaitan
sama sekali dengan masa depan, yaitu masa depan yang begitu abadi. Orang
yang hatinya mati, tidak pernah merasa bersalah meski tiap hari
melanggar aturan Allah. Dia mengira tak ada orang lain yang tahu, dan
dikiranya Allah tidak melihatnya. Jika berbuat maksiat, ukurannya hanya
dirinya dan orang lain. Sepanjang dirinya suka, dan orang lain tidak
melihatnya, dengan serta merta melakukannya. Dan masih banyak lagi tanda
tanda orang yang hatinya telah mati. Maka kita hendaknya selalu ingat
bahwa diri kita ini bukan mayat sedang berjalan, kita ini memang benar
benar hidup sehingga harus mengisi lintasan kehidupan ini dengan penuh
perhitungan matang. Kita dengan sadar melangkahkan kaki ke tujuan yang
baik, Dengan sadar mengayunkan tangan ke arah yang benar. Kita buka
tutup lisan kita dengan kalimat yang baik, benar, dan menyenangkan.
Orang yang
jiwanya hidup, perilakunya terkontrol. Hidupnya dinamis, dan dia
mempunyai standar dalam mengukur dirinya, Jika merasa salah, maka segera
minta ampun, dan jika dirasakan benar, tidak menyombongkan diri. Tidak
ada kata terlambat untuk mengubah arah jarum jam kehidupan ini, Kalau
selama ini dirasakan arahnya salah, maka segera putar dengan penuh
kesadaran ke arah yang benar. Niat dan tekad mendalam untuk menjadi
manusia baik hendaknya selalu ditumbuhkan setiap kali bangun tidur. Dan
meminta ampun dari segala salah dan khilaf disaat akan tidur. Bisakah
kita melakukan itu semua…….?